PENGEMBANGAN EKONOMI PONDOK PESANTREN
I.
PENDAHULUAN
Dalam hitungan
matematis ekonomis, pesantren dan masyarakat pedesaan adalah bagian yang dihitung miskin. Hal ini karena
lingkungan pedesaan dikenal lambat dalam segi pertumbuhan ekonomi, sehingga
masyarakat desa dan pesantren termasuk perlu dibantu.
Kehidupan sosial
masyarakat Indonesia seperti yang digambarkan Mubyarto walaupun Indonesia
adalah negara subur dan kaya, namun sebagian besar rakyat tergolong miskin.
Pada tahun 1998-1999 penduduk miskin indonesia mencapai sekitar 24%, dari
jumlah penduduk atay hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut turun
menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004 (Siaran pers
kementerian koordinator bidang perekonomian Republik Indonesia, 27 Maret 2003).[1]
Perhatian pemerintah
untuk menumbuh kembangkan sifat kewirausahaan di pondok pesantren semakin
tampak jelas, dapat dilihat dengan diluncurkannya berbagai program menuju
kearah tersebut, semua itu dilakukan agar mutu keilmuan yang menjadi pokok
utama pengelola pondok pesantren dapat benar-benar terealisasi di masyarakat
setelah santri-santriwati menyelesaikan pendidikan mereka dipontren
bersangkutan.
Untuk menciptakan
santri yang memiliki jiwa kewirausahaan tersebut, tentu harus dibekali dengan
keterampilan hidup, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilanya menjadi
lapangan uasaha baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Menyikapi
hal ini, kementrian Negara koperasi dan UKM RI Deputi Bidang pengembangan SDM
merealisasikannya dalam program pengelolan tempat praktek Usaha Santri (TPUS).
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pengertian potensi ekonomi pesantren?
B. Apa
saja macam-macam potensi ekonomi pesantren?
C. Bagaimana
model-model pengembangan ekonomi pesantren?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
potensi ekonomi pesantren
Pesantren sebagai
sebuah “ institusi budaya” yang lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh)
masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi
strategis yang ada di tengah kehidupan sosial masyarakat. Kendati kebanyakan
pesantren memposisikan dirinya (hanya) sebagai institusi pendidikan dan
keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berupaya
melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan sosial masyarakat,
seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Pengembangan potensi
ekonomi di pesantren garut dengan jumlah pesantren ribuan perlu diberdayakan
melalui pengembangan potensi ekonomi, dengan memanfaatkan SDM santri sehingga
tercipta kemandirian pesantren itu sendiri.
Menurut Wabup, mulai
tahun 2010, pemkab akan menggalirkan program ekonomi kreatif berbasis
pesantren. Diharapkan semua potensi khas masing-masing desa bisa diangkat oleh
peran serta para santri dalam mengembangkan ekonominya.
Potensi ekonomi besar
Soreang, (PRLM) dengan jumlah pesantren di jawab barat mencapai 4, 328 buah
dengan jumlah santri lebih dari 5 juta orang merupakan raksasa kekuatan bila
dikembangkan. Untuk itu pusat koperasi pesantren (puskopontren) jabar dan kawil
kementrian agama (komenag) jabar menggelar magang usaha bagi 204 saqntri.
Sebanyak 204 santri
yang berasal dari 68 pesantren di jawa barat mengikuti pemagangan santri ponpes
selama sebulan. Pemegangan untuk memberikan pelatihan berusaha sesuai dengan
potensi lokal yang dimiliki para santri dilatih mengelola pusat informasi
bisnis perkulakan dan distribusi barang di sejumlah tempat.
Potensi dan pearan
pesantren sebagaimana disebutkan di atas, mempunyai nilai yang cukup strategis
dan signifikan dalam memberikan sumbangsih dan perannya bagi peningkatan
keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi masyarakat. Dalam konteks
pengembangan ekonomi umat, pesantren di samping berperan sebagai agent of social change, sekaligus
sebagai pelopor kebanggkitan ekonomi umat. Hal ini, terlihat setidaknya bagi
komunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya, dengan dibentuknya kelompok
Wirausaha Bersama (KWUB) antarpesantren maupun antarpesantren dengan
masyarakat, dan pembentukan forum komunikasi pengembangan ekonomi kerakyatan
(FKPEK), meski diakui, keberadaan lembaga ini masih dalam tahap permulaan. [2]
Di sisi lain,
optimalisasi potensi peran pesantren tersebut akan menyebabkan pesantren dapat
memainkan “peran legislasi” dengan cara memberikan masukan-masukan konstruktif
untuk pertimbangan legislatif daerah dalam perumusan dan penyusunan kebijakan
publik daerah, seprti yang pernah dilakukan oleh beberapa daerah, antara pemkab
dan legislatif Gresik dan Sumenep.
Dengan demikian,
pesantren tidak hanya menjadi basis legitimasi bagi para pejabat atau calon
pejabat, tetapi juga menjadi penyambung lidah masyarakat untuk maenyampaikan
aspirasi dalam rangka pembangunan daerah.
Kiprah pesantren dalam
upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat terutama dalam bidang ekonomi,
dapat dilihat dari partisipasi pesantren dalam memasyarakatkan koperasi. Di
Indonesia, ide koperasi pertama kali disampaikan oleh Bung Hatta, dan mulai dikampanyekan
secara luas pada tahun 1930-an. Saat itu tidak banyak masyarakat yang menyambut
gagasan tersebut. Mereka tidak peduli karena masih berada dalam kondisi ekonomi
yang lemah dan terjajah, di samping belum memahami dan mengetahui
kelebihan-kelebihan koperasi.
Akan tetapi, dalam
kondisi seperti itu, pesantren menyambut baik gagasan tersebut. Bahkan
pesantren tercatat sebagai pihak yang pertama kali menyambut dan mengembangkan
sektor koperasi. Pada awalnya tentu masih dijalankan dengan pengelolaan manajemen
yang amat sederhana. Akan tetapi, lambat laun koperasi pondok pesantren
berkembang perekonomian di lingkungan santri. Contoh konkretnya adalah koperasi
pesantren di pekalongan, Jawa Tengah, yang ikut mendorong perkembangan
perdagangan batik, sehingga sempat mengundang kekaguman Bung Hatta saat itu.
Dalam hubungannya
dengan upaya peningkatan perekonomian masyarakat, pondok pesantren juga telah
berjasa dalam memelopori lahirnya Lembaga Tenaga Pengembangan Masyarakat
(LTPM). Program ini pertama kali dibentuk pada tahun 1997 di pesantren pabelan,
Muntilan, Mgelang, Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1979 dengan
program latihan pengenalan jenis-jenis Teknologi Tepat Guna (TTG).
Selain memberikan
kontribusi berharga bagi pengembangan masyarakat dalam arti fisik misalnya
keterampilan pesantren juga berandil besar dalam penggalakan wirausaha. Di
lingkungan pesantren, para santri di didik menjadi manusia yang bersikap
mandiri dan berjiwa wirausaha. Mereka giat berusaha dan bekerja secara
independen tanpa menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah
dan swasta. Para santri mau bekerja apa saja, asal halal. Tidak pernah
terdengar, seorang santri kebingungan mencari lowongan pekerjaan dan terpaksa
jadi penganggur.
Dengan anggapan dasar bahwa
tidak semua lulusan atau keluaran pondok pesantren akan menjadi ulama atau kyai
memilih lapangan pekerjaan di bidang ahgama, maka keahlian-keahlian lain
seperti pendidikan keterampilan perlu dibrerikan kepada santri, sebelum santri
itu terjun ke tengah-tengah masyarakat sebenarnya. Di pihak lain, guna
menunjang suksesnya pembangunan diperlukan partisipasi semua pihak, termasuk
pihak pondok pesantren sebagai suatu lembaga yang cukup berpengaruh di
tengah-tengah masyarakat. Ini merupakan potensi yang dimiliki oleh pondok
pesantren secara historis dan tradisi.
Pondok pesantren memang
dituntut untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan dengan mengembangkan
kegiatan-kegiatan kurikuler dan ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan
masyarakat sekitarnya, tentu saja hal tersebut tidak akan dapat berkembang
dengan baik jika tidak didukung oleh dana-dana tradisional, baik itu wakaf,
bantuan insidental dari pihak wali santri, pemewrintah, swasta dan masyarakat
atau donatur yang lain. Untuk menanggulangi hal yang demikian inilah pentingnya
keberadaan unit usaha dan pengembangan keterampilan di pondok pesantren yang
diupayakan dalam menghasilkan dana untuk biaya penyelenggaraan kegiatan pondok
pesantren.
Perkembangan masyarakat
dewasa ini menghendaki adanya pembinaan anak didik yang dilaksanakan secara
seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan keterampilan,
kemapuan berkomunikasi dengan masyarakat secara luas serta meningkatkan
kesadaran terhadap alam lingkungannya. Pendidikan yang demikian itu diharapkan
dapat merupakan upaya pembudayaan untuk mempersiapkan warga guna melakuakn
sesuatu pekerjaan yang menjadi mata pencahariannya dan berguna bagi masyarakat
serta mampu menyesuaikan diri secara konstruktif terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi di sekitarnya. Untuk memenuhi tuntutan pembinaan dan pengembangan
bangsa yang demikian luas dan berat itu, kini pemerintah dan masyarakat
berusaha mengerahkan segala sumber dan kemungkinan yang ada agar pendidikan
secara keseluruhan mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi masyarakat
dan bangsa.
Dalam upaya mengerahkan
segala sumber yang ada dalam bidang pendidikan untuk memecahkan berbagai
masalah tersebut, maka eksistensi pondok pesantren akan lebih disorot. Karena
masyarakat dan pemerintah mengharapkan pondok pesantren yang memiliki potensi
besar dalam bidang pendidikan, keagamaan dan sosial itu dapat ditingkatkan
partisipanya secara lebih aktif lagi dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat.
Pesantren pada
realitasnya telah mampu menjadi suatu lembaga yang ampuh untuk melegitimasi
otoritas dan kekuasaan kiai. Dengan pesantren itu pula kiai mampu membangun dan
mengembangkan jaringan dengan masyarakat luar.
B. Macam-macam
potensi ekonomi pesantren
Pondok pesantren
(Ponpes) dalam bacaan teknis merupakan suatu tempat yang dihuni oleh para
santri. Pernyataan ini menunjukkan makna pentingnya ciri-ciri ponpes sebagai
sebuah lingkungan pendidikan integral. Sistem pendidikan ponpes sebetulnya sama
dengan sistem yang dipergunakan Akademi Militer, yakni dicirikan dengan adanya
sebuah bangunan beranda yang di situ seseorang dapat mengambil pengalaman
secara integral.[3]
Dibandingkan dengan lingkungan
pendidikan parsial yang ditawarkan sistem pendidkan sekolah umum di indonesia
sekarang ini, sebagai budaya pendidikan nasional, ponpes mempunyai kultur yang
unik. Karena keunikannya, ponpes digolongkan ke dalam subkultur tersendiri
dalam masyarakat Indonesia. Lima ribu lebih ponpes yang tersebar di enam puluh
delapan ribu desa, merupakan bukti tersendiri untuk menyatakannya sebagai
sebuah subkultur. Keunikan ini pula pada gilirannya dapat menghasilkan nilai
ekonomis yang sangat besar bila dikelola secara potensial.
Di samping itu, ketika kita berbicara
tentang ponpes, sama sekali tidak bisa dilepaskan dari figur kiai-ulama yang
memimpin ponpes tersebut. Sebab kepemimpinan kiai-ulama di ponpes adalah sangat
unik, di mana mereka memakai sistem para-modern, yaitu relasi sosial antara
kiai-ulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan, sebagaimana dilakukan masyarakat
umumnya. Ketaatan santri kepada kiai-ulama lebih dikarenakan mengharapkan
barokah (grace), sebagaimana di
pahami dari konsep sufi.
Karena itulah, salah satu daya tarik
sebuah ponpes antara lain ditentukan oleh figur dan kharisma sang kiai-ulama pengasuhnya.
Namun demikian disadari, bahwa ada faktor eksternal yang mempengaruhi hubungan
kiai-ulama-santri sehingga mengarah pada pola patron-klien dengan memposisikan
kiai-ulama sebagai “ibu ponpes” yang memperoleh keuntungan dari a province wide, dan mendapatkan
pengaruh dalam sektor ekonomi dan kepemimpinan politik.[4]
Dalam kaitan itulah, tulisan ini
mencoba menggali tiga pilar utama ponpes, yakni kiai-ulama-, santri, dan
pendidikan sebagai sebuah magnet yang sangat potensial menjadi sumber ekonomi bagi
eksistensi dan pengembangan ponpes tersebut.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat
terdapat pula sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun
nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat bartanggung jawab untuk
melestarikan atau memperbaiki nilai-nilai yang ada karena itulah kehidupan dan
sistem nilai di masyarakat harus terintegrasi dalam kurikulum.
Dengan demikian kebudayaan dan
pendidikan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling
mengikat. Kebudayaan itu hidup dan berkembang karena proses pendidikan,
sedangkan pendidikan itu sendiri hanya dalam konteks kebudayaan. Dalam arti
tertentu, kurikulum adalah rekayasa dari pembudayaan suatu masyarakat,
sedangkan proses pendidikan itu pada hakikatnya merupakan proses pembudayaan
yang dinamis.
sumber daya Sementara dalam
pengembangan pendidikan khususnya madrasah dan pesantren, memerlukan penangan
yang holistil (menyeluruh), ini artinya bahwa pendidikan madrasah dan pesantren
memiliki tanggung jawab sebagai sekolahy umum berciri khas Islam agar mampu
meningkatkan kualitas manusia. Karena menurut Wardiman Joyonegoro, manusia yang
berkualitas itu setidak-tidaknya mempunyai dua kompentensi, yaitu kometensi
bidang IMTAQ (iman dan taqwa) dan IPTEK (ilmu pengetahuan dan tekhnologi)
Untuk itu diperlukan beberapa kemampuan
sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat sekarang: a. Kemampuan untuk
mengetahui pola perubahan dan kecenderungan yang sedang berjalan. b. Kemampuan
untuk menyusun gambaran tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh kecenderungan
yang sedang terjadi. C. Kemampuan untuk menyusun program penyesuaian diri yang
akan ditemph dalam waktu tertentu.
Adanya upaya pengembangan kurikulum
yang berprinsip diversifikasi yang dilakukan olehn sejumlah madrasah dan
pesantren baru-baru ini, menandakan sikap kemandirian keduanya sebagai lembaga
pendidikan yang berbasis Islam. Dan dengan demikian madrasah dan pesantren
mendapatkan angin segar untuk bisa lebih eksis dalam mengatur kegiatannya tanpa
intervensi pemerintah pusat dalam mencapai mutu pendidikan, melalui proses
belajar mengajar yang didasari kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani
dengan materi lain yang sesungtguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi
peningkatan pengetahuan dan ketram[ilan di tingkat tersebut.
C.
Model-model
Perkembangan Ekonomi Pondok Pesantren
Berawal semuanya dari
pemikiran para pengurus pondok pesantren (Ponpes) sidogiri tentang upaya
meningkatkan pesan dan fungsi ponpes sidogiri dalam berdakwah sekaligus
membantu kesejahteraan para ustadz dan santri. Dari situ, awal tahun 1961
dibentuklah wadah penghimpunan impanan dari para ustadz. Wadah ini kemudian
disepakati berbentuk koperasi yang anggotanya terdiri dari para ustadz pondok.
Bentuk simpanan yang semula dimaksudkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
(simpan pinjam) para ustadz ini kemudian dalam perkembangannya menjadi modal
usaha para ustadz tersebut. Pada awal berdirinya, koperasi tersebut belum
terkait secara langsung, baik secara kelembagaan maupun pemodalan dengan
ponpes. Akan tetapi seiring dengan berkembangnya kegiatan koperasi, dengan
memperbaiki sistem keorganisasian sejalan dengan dukungan anggota dan ponpes,
maka disepakati seluruh simpanan anggota koperasi kekayaan ponpes. Saat itulah
laba koperasi (SHU) digunakan untuk kemaslahatan ponpes.[5]
Meski demikian,
keberadaan koperasi tersebut belum memiliki badan hukum koperasi. Baru pada
bulan April 1997 M., pemangku Ponpes Sidogiri. KH. A. Nawawi Thoyyib (alm)
menyetujui untuk mengajukan permohonan untuk badan hukum kepada menteri
koperasi dan PKM via kepala kantor Departemen koperasi dan PKM di kabupaten
pasuruan (sekarang Dinas Koperasi dan PKM). Pada tanggal 15 juli 1997,
permohonan tersebut disetujui dan disyahkan menjadi badan Hukum Koperasi Ponpes
Sidogiri dengan nomor: 441/BH/KWK. 13/VII/1997. Dari sinilah awal “kebangkitan”
pengembangan usaha ekonomi ponpes sidogiri.
Selanjutnya, masih
dalam tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 4 september 1997 berdiri pula
koperasi Baitul Mal wat Tamwil Mashlahah Mursalahlil Ummah (disingkat BMT MMU)
dengan menerapkan simpan pinjam pola syari’ah. BMT MMU menghimpun dan
menyalurkan dana dari/kepada anggota atau calon anggota dengan sistem mudharabah (bagi hasil) atau murabahah (jual beli).
Perkembangan
berikutnya, didirikan usaha gabungan terpadu sidogiridengan pola syari’ah yang
selanjutnya disebut BMT-UGT. BMT-UGT ini secara resmi berbadan hukum pada
tanggal 22 juli 2000 dengan nomor: 09/BH/KWK. 13/VII/2000. Jenis usaha dan
tabungan antara BMT MMU dan BMT-UGT ini relatif sama, yakni jenis tabungan:
umum, pendidikan, idul fitri, ibadah qurban, walimah, dan Ziarah Wisata. Yang
membedakan di sini adalah pendiri, di mana pada dasarnya ketua BMT-MMU
didirikan oleh para guru madrasah Miftahul Ulum (MMU, yang kemudian diabadikan
untuk nama, tetapi diganti kepanjangannya), dan sasaran utamanya adalah para
guru di seluruh madrasah cabang. Sedangkan BMT-UGT melibatkan masyarakat. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat usaha ini merambah hampir seluruh lapisan
masyarakat, terutama dimaksudkan untuk mengikis habis para rentenir yang
keberadaannya sangat meresahkan dan mencekik perekonomian masyarakat.
Setelah sukses
membangun koperasi dan BMT, usaha selanjutnya adalah mendirikan Bank Syari’ah,
dengan mengkonversi BPR Untung Suropati menjadi KBPR Syari’ah. Usaha ini secara
resmi beroperasi pada awal tahun 2002, dan berkantor di jl. Mangga No. 857
Bangil Pasuruan.
Pengembangan ekonomi
pesantren dihadapkan pada upaya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat dalam bentuk kegiatan usaha bersama. Hal ini sesungguhnya telah
menjadi karakteristik pesantren yang selalu mampu mandiri dan swadaya dalam
kegiatan dakwah islam di masyarakat.
Terkait dengan penguat
dan pengembangan kelembagaan ekonomi di pondok pesantren, maka patut kita
telaah sejauh mana peran pondok pesantren dalam upaya, meningkatkan taraf
(perekonomian) warga sekitar sebagai bagian dari perang melawan kemiskinan
(jihad) karena kaum muslimin di indonesia sampai sekarang masih terpinggirkan.
Program penguatan dan
pengembangan potensi ekonomi pesantren pada dasarnya merupakan replikasi atau
penalaran keberhasilan suatu pesantren dalam mengembangkan kegiatan ekonomi
kepada pesantren lain yang memiliki potensi ekonomi, SDM dan dukungan pimpinan
pesantren yang tinggi. Pendampingan dimulai dari kegiatan orientasi berbasis
praktek, pemberian dana pengembangan ekonomi, dan proses penularan atau
replikasi serta bantuan supervisi. Dengan adanya program, penguatan dan
pengembangan potensi ekonomi pesantren ini menjadi bekal bagi pesantren untuk
dapat lebih mengembangkan potensi-potensi yang ada di masing-masing pondok
pesantren.
Perlu adanya
pengembangan ekonomi lebih lanjut melalui program lanjutan tentang penguatan
dan pengembanagan potensi ekonomi pesantren, sehingga mampu menyempurnakan
program ini. Pesantren agar menjadi sebuah lembaga yang banyak diminati
masyarakat yang di dalamnya tidak hanya kewgiatan yang bersifat rohani, tetapi
perlu terus dikembangkan dan dibina dalam penguatan potensi ekonomi pondok
pesantren.
IV.
ANALISIS
Potensi dan pearan
pesantren sebagaimana disebutkan di atas, mempunyai nilai yang cukup strategis
dan signifikan dalam memberikan sumbangsih dan perannya bagi peningkatan
keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi masyarakat. Bahkan pesantren tercatat
sebagai pihak yang pertama kali menyambut dan mengembangkan sektor koperasi.
Pada awalnya tentu masih dijalankan dengan pengelolaan manajemen yang amat
sederhana.
Bahkan
pesantren tercatat sebagai pihak yang pertama kali menyambut dan mengembangkan
sektor koperasi. Pada awalnya tentu masih dijalankan dengan pengelolaan
manajemen yang amat sederhana.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat
terdapat pula sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun
nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat bartanggung jawab untuk
melestarikan atau memperbaiki nilai-nilai yang ada karena itulah kehidupan dan
sistem nilai di masyarakat harus terintegrasi dalam kurikulum.
Menurut Wardiman Joyonegoro, manusia yang berkualitas itu
setidak-tidaknya mempunyai dua kompentensi, yaitu kometensi bidang IMTAQ (iman
dan taqwa) dan IPTEK (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). kesejahteraan
masyarakat dalam bentuk kegiatan usaha bersama. Hal ini sesungguhnya telah
menjadi karakteristik pesantren yang selalu mampu mandiri dan swadaya dalam
kegiatan dakwah islam di masyarakat. pengembangan ekonomi, dan proses penularan
atau replikasi serta bantuan supervisi. Dengan adanya program, penguatan dan
pengembangan potensi ekonomi pesantren ini menjadi bekal bagi pesantren untuk
dapat lebih mengembangkan potensi-potensi yang ada di masing-masing pondok
pesantren.
V.
KESIMPULAN
Pengembangan potensi
ekonomi di pesantren garut dengan jumlah pesantren ribuan perlu diberdayakan
melalui pengembangan potensi ekonomi, dengan memanfaatkan SDM santri sehingga
tercipta kemandirian pesantren itu sendiri.
Di sisi lain, optimalisasi potensi peran
pesantren tersebut akan menyebabkan pesantren dapat memainkan “peran legislasi”
dengan cara memberikan masukan-masukan konstruktif untuk pertimbangan
legislatif daerah dalam perumusan dan penyusunan kebijakan publik daerah,
seprti yang pernah dilakukan oleh beberapa daerah, antara pemkab dan legislatif
Gresik dan Sumenep.
Karena keunikannya, ponpes digolongkan
ke dalam subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Lima ribu lebih
ponpes yang tersebar di enam puluh delapan ribu desa, merupakan bukti
tersendiri untuk menyatakannya sebagai sebuah subkultur. Keunikan ini pula pada
gilirannya dapat menghasilkan nilai ekonomis yang sangat besar bila dikelola
secara potensial.
Tujuan
pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan
mempertinggi semangat menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
menggajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan menyiapkan murid untuk hidup
sederhana dan bersih hati.
sumber
daya Sementara dalam pengembangan pendidikan khususnya madrasah dan pesantren,
memerlukan penangan yang holistil (menyeluruh), ini artinya bahwa pendidikan
madrasah dan pesantren memiliki tanggung jawab sebagai sekolahy umum berciri khas
Islam agar mampu meningkatkan kualitas manusia.
Bentuk simpanan yang
semula dimaksudkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan (simpan pinjam) para
ustadz ini kemudian dalam perkembangannya menjadi modal usaha para ustadz
tersebut. Pada awal berdirinya, koperasi tersebut belum terkait secara
langsung, baik secara kelembagaan maupun pemodalan dengan ponpes. Akan tetapi
seiring dengan berkembangnya kegiatan koperasi, dengan memperbaiki sistem
keorganisasian sejalan dengan dukungan anggota dan ponpes, maka disepakati
seluruh simpanan anggota koperasi kekayaan ponpes.
pengembangan
kelembagaan ekonomi di pondok pesantren, maka patut kita telaah sejauh mana
peran pondok pesantren dalam upaya, meningkatkan taraf (perekonomian) warga
sekitar sebagai bagian dari perang melawan kemiskinan.
VI.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini
saya buat, saya menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan
serta kekurangan, untuk itu saya harapkan kritik dan saran yang membangun demi
makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi para pemakalah. Amin.
[1] Qodri A Azizy, Pola Pengembangan Pondok Pesantren,
(Jakarta: PT Pelangi Aksara, 2003), hlm. 90-95
[2]
M. Choirul Arif, Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: PT
Lkis Pelangi Aksara, 2005), hlm. 15-16
[3]
A. Halim, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: PT
Lkis Pelangi Akasar, 2005), hlm 221-223
[4]
Syamsul Ma’arif, Pesantren Kapitalisme Sekolah,(Semarang:
NEED’S PREES, 2008), hlm. 123-124
[5] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan,
(Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1997), hlm. 92-94
Assalamu'alaikum.. Salam kenal.. Mantab artikelnya..
BalasHapus