Sabtu, 02 Mei 2015

DORONGAN MENCARI RIZKI YANG HALAL



DORONGAN MENCARI RIZKI YANG HALAL
I.            PENDAHULUAN
Salah satu perintah Allah swt. pada mahlukNya adalah memakan makanan yang halal dan baik. Hal itu telah termaktub jelas dalam al-Quran,  Hai orang-orang yang beriman makanlah bagimu apa-apa yang baik yang telah kurizkikan padamu ........” (al-Baqoroh : 173). Makanan yang baik dinilai dari dzatnya dan bagaimana cara mendapatkannya. Adakalanya sesuatu yang halal menjadi haram karena cara mendapatkannya yang tidak sesuai dengan tata cara syar’i. Dua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam dalam syariat, terutama dalam masalah mencari rizki. Seperti dua buah sisi mata uang, dimana jika tidak ada salah satunya maka sama artinya dengan ketiadaannya. Begitu pula dengan “cara mendapatkan” dan “dzat(makanan)” dari rizki yang kita dapatkan.
Materi pada makalah kali ini akan membahas hal-hal di atas dan hal lain yang masih berkaitan dengannya.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah pengertian tentang rizki yang halal?
B.     Bagaimana cara mencari rizki yang halal?
C.     Bagaimanakah penjelasan tentang hadits yang membahas rizki yang halal?
III.            PEMBAHASAN  
A.    Pengertian Rizki yang Halal
Adapun arti rizki yang ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup. Hal lain yang perlu kita ketahui adalah kata halal.kata halal berasal dari kata yang berarti’’lepas’’ dari ikatan atau’’ tidak terkait’’. Sesuatu yang halal adalah lepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrowi.
Suatu benda atau perbuatan itu tidak terlepas dari lima perkara, yaitu: halal, haram, syubhat, makruh dan mubah.[1]
Jadi rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh dikerjakan atau dimakan dengan pengertian bahwa yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah. Selain itu memohon dan berdo’a juga termasuk salah satu bagian dalam usaha mencari rizki.
Di bawah ini akan dibahas hadits-hadits mengenai dorongan mencari rizki yang halal. Hadits Abdullah bin umar tentang orang memberi lebih baik dari pada orang yang menerima.
حَدَّثَنَ اَبُوالّنُعْمَانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُبْنُ زَيْدٍعَنْ اَيُوْبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِوَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَتَعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌمِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ     (رواه البخاري في كتاب الزكاة)
Artinya:
Bercerita kepada kita Abu Nu’man berkata telah bercerita pada kita khammud bin Zaid dari Ayyub dari nafi’bin Umar r.a dia berkata:saya telah mendengar Nabi SAW bercerita kepada kita abdullah bin Maslamah dari malik bin nafi’.Diriwayatkan dari abdullah bin umar r.a: di atas mimbar Rasulullah SAW berbicara tentang sedekah, menghindari dari meminta pertolongan(keuangan) kepadaa orang lain, dan mengemis kepada orang lain, dengan berkata’’tangan atas lebih baik dari tangan di bawah. Tangan di atas adalah tangan yang memberi, tangan di bawah adalah tangan yang mengemis.’’[2]

Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang meminta-minta. Karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina.
Sebenarnya meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu, dengan kata yang lain yaitu dalam keadaan mendesak atau sangat terpaksa sekali. Jadi perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina jika pekerjaan itu dalam keadaan serba cukup, sehingga akan merendahkan dirinya baik di mata manusia maupun dalam pandangan Allah SWT di akhirat nanti.
Imam An-Nawawi berkata: “”Para ulama’ mengatakan bahwa meminta-minta dalam keadaan tidak terpaksa adalah terlarang, terhadap orang yang sanggup berusaha. Pendapat yang lebih kuat menganggap bahwa pendapat ini makruh, jika memenuhi 3 syarat, yaitu: pertama, tidak menghinakan diri. Kedua, tidak meminta secara mendesak. Ketiga, tidak menyakiti orang yang diminta. Apabila tidak syarat-syarat berikut ini maka hukumnya haram.”[3]        
B.     Cara Mencari Rizki yang Halal
Di dalam mencari rizki yang halal hendaklah memperhatikan halal dan haramnya, baik dan buruknya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
اِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَاِنّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا اُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمَهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ (الحديث)
Artinya:
’’ Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang meragukan yang tidak banyak di ketahui oleh manusia.’’[4]
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: ’’Orang yang berusaha untuk keluarganya dari yang halal, maka ia senilai dengan perjuangan di jalan Allah SWT, dan orang yang mencari rizki dunia yang halal dengan menghindari dosa, maka ia di tingkat para Syuhada.’’[5]
Rizki itu berupa saham yang dipertaruhkan di dalam perusahaan dunia ini, dimana terdapat saham makhluk manusia secara merata. Tidak mungkin seseorang mendapatkan hasil dari sahamnya itu namun ia tidak berusaha, sebab malas tidak membawa bahagia bagi manusia.[6]
Karena mencari rizki yang halal itu wajib hukumnya, maka tidak boleh mengikuti kehendak hawa nafsu yang menyimpang ajaran Islam dan langkah-langkah setan karena rizki yang tidak halal akan berpengaruh negatif dalam segi-segi hidup dan kehidupan manusia, baik pelakunya sendiri maupun masyarakat sekitarnya.
Firman Allah SWT:
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Artinya:
‘’wahai manusia makanlah dari (makanan) yang terdapat di bumi yang halal dan baik dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.’’ (QS.AL-Baqarah: 168)[7]
Adapun sikap seorang muslim terhadap rizki yang halal, yaitu: 1. Dilarang memberikan makanan yang dihalalkan kepada syahwatnya dan membatasi agar dia tidak melapaui batas. 2. Boleh diberikan semuanya dengan alasan supaya dia kuat dan bersemangat. 3. Tengah-tengah (Tawassuth) diantara keduanya.[8]
  Ibnu Abbas ra  berkata, ‘’ Nabi Adam menjadi petani, Nabi Nuh menjadi tukang kayu , Nabi Idris menjadi penjahit, Nabi  Ibrahim dan Luth menjadi petani, Nabi Shalih menjadi pedagang, Nabi Daud menjadi pandai besi, Nabi Musa, Nabi Syu’aib, dan Nabi Muhammad menjadi pengembala.’’
C.     Hadits tentang Rizki Halal
1.      Makanan yang halal
a)      Hadits dan artinya
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "ان الله تعالى طيب لايقبل الا طيبا, وان الله امرالمؤمنين بما امربه المرسلين ..." فقال تعالى "ياايهاالرسل كلوامن الطيبات واعلمواصالحا ... " المؤمنون / 51 ... وقال الله تعالى يايهاالذين اموا كلوا من طيبات ما رزقناكم ..." البقرة / 172... ثم ذكررجل يطيل السفر اشعث اغبر يمد يده الى السماء يا رب يا رب, ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام وغذى بالحرام فانى يستجاب له  (رواه المسلم)
Artinya:
‘’Dari Abu Hurairah r.a ia berkata:’’ Telah bersabda Rasulullah :’’Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah kami berikan kepadamu. Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang telah melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan”, sedangkan makanannya haram, maka bagaimana orang separti ini dikabulkan do’anya.’’ (HR.Muslim)[9]
b)      Batasan sanad, matan, dan rowi
Dari hadits diatas, dapat diketahui sanad, matan, dan rowinya.
Sanadnya adalah:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Sedangkan matannya adalah:
ان الله تعالى طيب لايقبل الا طيبا, وان الله امرالمؤمنين بما امربه المرسلين ..." فقال تعالى "ياايهاالرسل كلوامن الطيبات واعلمواصالحا ... " المؤمنون / 51 ... وقال الله تعالى يايهاالذين اموا كلوا من طيبات ما رزقناكم ..." البقرة / 172... ثم ذكررجل يطيل السفر اشعث اغبر يمد يده الى السماء يا رب يا رب, ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام وغذى بالحرام فانى يستجاب له
Dan untuk rowinya adalah: رواه المسلم
c)      Analisis hadits
Kata “thayyib (baik)” berkenaan dengan sifat Allah maksudnya ialah bersih dari segala kekurangan. Hadits ini merupakan salah satu dasar dan landasan pembinaan hukum islam. Hadits ini berisi anjuran mencari sebagaian dari harta yang halal dan melarang mencari harta yang haram. Makanan, minuman, pakaian dan sebagainya hendaknya benar-benar yang halal tanpa bercampur dengan yang syubhat. Orang yang ingin memohon kepada Allah hendaklah memperhatikan persyaratan yang tersebut pada hadits ini.
Hadits ini juga menyatakan bahwa seseorang yang membelanjakan hartanya dalam kebaikan berarti ia telah membersihkan dan menumbuhhkan hartanya. Makanan yang enak tetapi tidak halal menjadi malapetaka bagi yang memakannya dan Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.
Kalimat kemudian beliau menceritakan  kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu’’,  maksudnya ialah menempuh perjalanan jauh untuk melaksanakan kebaikan seperti haji, jihad, dan perbuatan baik lainnya. Amal kebajikan tersebut tidak akan diterima oleh Allah  bila yang bersangkutan makan, minum dan berpakaian dari hasil haram.
Kalimat ‘’menengadahkan kedua tanganya’’ maksudnya berdo’a kepada Allah memohon sesuatu, namun dia tetap berbuat dosa dan melanggar aturan agama. Kalimat  ‘’makanannya haram, maka bagaimana orang seperti ini di kabulkan do’anya’’, maksudnya bagaimana orang yang perbuatanya semacam itu akan dikabulkan do’anya, karena dia bukanlah orang yang layak dikabulkan do’anya. Akan tetapi walaupun demikian, boleh saja Allah mengabulkannya sesuai tanda kemurahan, kasih sayang dan pemberian karunia.

2.      Hadits tentang Menjual Kayu Bakar Lebih Baik dari pada Meminta-minta
a)      Hadits dan artinya
Artinya: عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ لِاَنَّ يَحْتَطِبْ عَلَى ظَهْرِهِ      خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ يُسَالَ اَحَدًا فَيُعْطِيْهِ اَوْيَمْنَعْهُ (اخرجه البخا ري في كتاب المساقاة)

"Dari Abi Hurairah r.a berkata, Rasulullah bersabda: salah seorang diantaramu yang mencari seikat kayu bakar diatas punggungnya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain hingga ia memberinya atau menolaknya"
b)      Batasan sanad, matan, dan rowi
Sanadnya adalah:     عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
Sedangkan matannya adalah:
لِاَنَّ يَحْتَطِبْ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ اَنْ يُسَالَ اَحَدًا فَيُعْطِيْهِ اَوْيَمْنَعْهُ
Dan untuk rowinya adalah:
اخرجه البخا ري في كتاب المساقا
c)      Analisis hadits
Hadits ini mengajarkan kita supaya berusaha dengan jalan yang halal, seperti mengumpulkan kayu lalu sebagian hasilnya, kita sedekahkan dan sebagaianya lagi kita makan.
Makna hadits tersebut adalah bahwasanya Rasulullah SAW mengnjurkan untuk bekerja dan berusaha serta makan dari hasil keringatnya sendiri, bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini. Selain itu juga mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan dan menghindarkan diri dari perbuatan meminta-minta karena Islam sebagai Agama yang mulia telah memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaa yang hina.[10]
Didalam hadits tersebut juga mengandung ma’na anjuran untuk tidak meminta-minta dan menjaganya, dan anjuran untuk bekerja, sekalipun memberatkanya di dalam mencari rizki, karena menanggung pemberian orang sebab meminta-minta bagi orang yang merdeka (kuasa) itu lebih berat dari pada memikul gunung.’’[11]

3.      Hadits  tentang Nabi Daud Makan dari Usahanya Sendiri
a)      Hadits dan artinya
عن المقدام رضى الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : مااكل احد طعاما        قط خير امن ان ياكل من عمل يده وان نبي الله داودعليه السلام كان ياكل من عمل يده         (اخرجه البخري في كتاب المساقاة)
Artinya:
"Dari Miqdam r.a dari Rasulullah SAW bersabda: tidaklah seseorang yang memakan makanan saja itu lebih baik dari pada memakan hasil jerih payah tangannya, sesungguhnya Nabi Daud AS makan dari jerih payah tangannya"
Batasan sanad, matan, dan rowi
Sanadnya adalah:
عن المقدام رضى الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
Sedangkan matannya adalah:
مااكل احد طعاما قط خير امن ان ياكل من عمل يده وان نبي الله داودعليه السلام كان ياكل من عمل يده
Dan untuk rowinya adalah:
اخرجه البخري في كتاب المساقاة
b)      Analisis hadits
Dari hadits tersebut  dijelaskan bahwa rizki yang paling baik adalah rizki yang di dapat dari jalan yang dihalalkan Allah SWT, serta dari usaha diri sendiri.
Dengan mengambil contoh, bahwasannya Nabi Daud AS adalah seorang Nabi, akan tetapi beliau makan dari hasil tangannya sendiri. Dengan cara membuat pakaian (rompi/baju perang) dari besi dan diperjual belikan kepada kaumnya.

4.      Hadits tentang Nabi Zakaria Seorang Tukang Kayu
a)      Hadits dan artinya
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : كان زكريانجارا                 (اخرجه المسلم في كتاب الفضا ئل)
Artinya:
‘’Telah bercerita pada kita Haddab bin Kholid telah bercerita pada kita khammad bin Salamah dari Tsabit dari Abi Raafi’ dari Abi Hurairah ra. Sesungguhnya Rasululah  SAW bersabda:’’Bahwa Nabi Zakariya as, adalah seorang tukang kayu.’’
b)      Batasan sanad, matan, dan rowi
Sanadnya adalah: عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَان رسول الله صلى الله عليه وسلم   
Sedangkan matannya adalah: كان زكريانجارا
Dan untuk rowinya adalah: اخرجه المسلم في كتاب الفضا ئل
c)      Analisis hadits
Dalam  hadits di atas memberi ketegasan bahwa  pekerjaan apapun tidak dipandang rendah oleh Islam, hanya perlu ditekankan bahwa dalam berusaha harus memperhatikan prosesnya yang terkait dengan halal dan haram firman Allah  SWT:
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4          ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ



Artinya:
’’Hai sekalian manusia, makanlah  yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.’’(QS.Al-Baqoroh:168)
Nabi adalah contoh dan suri  tauladan bagi umatnya seperti yang tertera pada hadits ini bahwa Nabi pun mengajarkan kita bahwa bekerja apapun asalkan halal, maka kita boleh melakukannya.
Nabi  Muhammad  SAW sendiri pun pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah sebelum menjadi Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa prosesi Nabi dan Rasul itu tidak merintangi tugasnya sebagai pembawa risalah kebenaran dari Allah SWT.
IV.            SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa, rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh dilakukan atau dikerjakan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Kriteria halal ada 2 macam yaitu: halal dari  segi zat dan halal dari cara memperolehnya. Rizki yang halal sebaiknya dilakukan dengan usaha yang baik dan dikerjakan sendiri, diibaratkan seperti seseorang yang mencari kayu bakar dan menjualnya serta tidak mendapatkan upah yang tidak sesuai. Cara  mendapatkan Rizki yang halal sebaiknya tidak boleh mengikuti kehendak hawa nafsu yang menyimpang ajaran Islam.
Adapun hikmah mencari rizki yang halaldiantaranya: Dosanya akan diampuni, menumbuhkan sikap juang yang tinggi dalam menegakkan ajaran Allah dan rasul-Nya, serta mendekatkan diri pada allah SWT.
V.            PENUTUP
Demikian makalah ini, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penyusun mohon kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.












DAFTAR  PUSTAKA
An-Nawawi, Imam dan Hasan Al-Banna. Al-Ma’tsurat dan hadits Arba’ain.
Alwy, Sayyid. Fathul Qorib Al-Mujib ala Tahdzibi Al-Targhib Wattarghib.  (Surabaya: Darus Syaqof, T Th.).
Azzam, Abdul Aziz Muhammad.  Fiqih Mu’amalat. (Jakarta: Amzah, 2010).
Bukhari, Imam. Shohihul  Buhahari JilidI. (Beirut: Darul Fikri, 1981).
Fahruddin, Fuad M.. Ekonomi Islam. (Jakarta: Mutiara, 1982).
 (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1984).
 Khalid, Husein Bahreisj. Himpunan Hadits Shohih Muslim. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984).
Muhammad, Tengku  Ahs-Shidiqie. Mutiara Hadits jilid 4. (Semarang: Pustaka  Rizki Putra, 2006).
Soenarjo. Al-Qur’an dan Tarjamahnya. (Semarang: Toha Putra, 1989).
Sunarto, Ahmad. Halal dan Haram. (Jakarta: Pustaka Amani, 1989).
Siddiq, Ahmad. Benang antara Halal dan Haram. (Surabaya: Putra Pelajar, 2002).           

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           



[1] Ahmad Siddiq, Benang antara Halal dan Haram, (Surabaya: Putra Pelajar, 2002), hlm. 9
[2] Imam Bukhari, Shohihul Bukahari Jilid I, (Beirut: Darul Fikri, 1981 ), hlm. 553
[3] Tengku Muhammad Ash-Shidiqie, Mutiara Hadits Jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006), hlm. 45
[4] Husein Khalid Bahreisj, Himpunan Hadits Shohih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984), hlm. 278
[5] Ahmad Sunarto, Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 13-14
[6] Fuad M. Fahruddin, Ekonomi Islam, (Jakarta: Mutiara, 1982), hlm. 22
[7] Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:CV.Toha Putra, 1989), hlm.41
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Mu’amalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 465
[9] Imam An-Nawawi dan Hasan Al-Banna, Al-Ma’tsurat dan Hadits Arba’ain, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1984), hlm. 56-57
[10]  Imam Bukhari, Op. Cit., hlm 117-118
[11] Sayyid Alwy, Fathul Qorib Al-Mujib ala Tahdzibi Al-Targhib Wattarghib, (Surabaya: Darus Syaqof, T Th.), hlm. 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar